Minggu, 01 November 2015

Prioritas Keselamatan



Prioritas Keselamatan

Perlahan kubuka mataku sembari mencoba menyadari apa yang telah terjadi dan mencari tahu di mana aku berada sekarang. Semua tampak asing, ruangan tempat aku berada belum aku kenal sebelumnya. Tapi tidak perlu waktu lama buatku untuk menyadari bahwa aku sekarang ada di rumah sakit. Tirai hijau muda yang mengelilingi tempat tidurku, tiang penyangga botol infus, ditambah seprai tempat tidur putih nan bersih tempat aku terbaring sekarang, serta tabung oksigen yang berada tepat di samping tempat tidur, semuanya itu menuntunku untuk segera mengambil kesimpulan bahwa aku sekarang ada di rumah sakit. Rumah sakit apa? Mana kutahu.
Dari sela-sela tirai yang mengelilingi tempat tidur, aku bisa melihat beberapa paramedis hilir mudik. Sepertinya mereka sibuk. Entahlah, aku tak peduli dan tak mau tahu tentang mereka. Dalam kondisi seperti ini kadar egoku meningkat drastis, membumbung tinggi ke angkasa layaknya pesawat ulang-alik Apollo 11 yang mengangkut Neil Armstrong, Buzz Aldrin, dan Michael Collins dalam misi menjelajah satelit Bumi di bulan Juli 1969. Aku sama sekali tidak peduli dengan apa yang ada di sekililingku, bahkan tiap obrolan yang berasal dari balik tirar itu hanya masuk lewat kuping kanan dan langsung keluar lewat kuping kiri tanpa satu pun kata yang nyantol di pikiran. Satu-satunya yang aku peduli dan khawatirkan hanya kondisiku saat ini.
Kepalaku pening, serasa ada beban 2 ton yang dililitkan di tulang tengkorakku. Seandainya aku ada di dalam samudra yang luas, pasti sekarang aku akan langsung meluncur deras ke dasar samudra karena begitu beratnya beban di kepalaku. Tapi itu bukanlah penderitaan satu-satunya yang aku alami. Rasa nyeri setengah mati terasa dari bagian bawah, tepatnya kaki kiri. Susah payah aku berusaha melihat ke arah kaki, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Oh my God”, sontak kalimat itu muncul di dalam pikiran begitu melihat kondisi kaki kiri. Organ tubuh penting itu dililit perban dari mata kaki hingga lutut. Di antara perban dan kakiku, ada dua buah benda berbentuk papan berada di sebelah kiri dan kanan kakiku, membujur dari mata kaki hingga di bawah lutut, mengapit rapat seolah ingin melindunginya dari ancaman luar.
Dari keadaan yang nampak, aku tahu itu fiksasi luar, sebuah tindakan medis awal pada kasus patah tulang, tujuannya menjaga agar tulang yang patah tetap pada posisi yang semestinya. Aku mengenal istilah itu saat masih aktif di PMR (Palang Merah Remaja) di bangku SMA dulu. Bersama teman-teman, aku selalu suka saat mempraktikkan metode tersebut, bukan karena aku ahli melakukannya, tapi karena dengan praktik fiksasi aku bisa mengerjai temanku, Ridwan. Biasanya setelah pertemuan PMR selesai, sebelum semua properti P3K dikembalikan ke ruang penyimpanan, aku dan temanku Agus mempraktikan fiksasi luar yang lain dari biasanya, dan yang berperan menjadi korban adalah Ridwan. Agus bertugas memegangi dan merapatkan kedua kaki Ridwan, aku sendiri dengan cekatan memasang dua papan masing-masing di sisi luar kaki kiri dan kanannya. Setelah itu langsung kulilit kedua kakinya dengan perban dan kuikat dengan simpul mati. Lalu aku dan Agus membantu Ridwan berdiri. Ia terlihat susah payah menjaga keseimbangan dengan kedua kaki terikat seperti itu. Aku dan Agus hanya bisa tertawa terpingkal-pingkal melihat tingkahnya. Anehnya, bukannya berusaha untuk melepaskan simpul perban, Ridwan malah menghampiri kami dengan melompat-lompat layaknya pocong dengan menyilangkan kedua telapak tangannya di atas ubun-ubun kepalanya. Sungguh momen fiksasi yang menghibur. Tapi tidak dengan momen fiksasi saat ini, meski belum mendapat secuil informasi dari pihak rumah sakit, aku tahu sepertinya aku mengalami patah tulang. Duh…
Aku termasuk orang yang selalu mencoba optimis dan berpikir positif. Segera kubuang jauh-jauh kekhawatiran patah tulang kaki di pikiranku. Maka untuk meyakinkan diri sendiri, aku harus mendapat informasi dari orang lain yang paham dengan kondisiku sekarang, orang lain itu tak lain dan tak bukan tentu saja para paramedis di rumah sakit ini. Terus terang aku sedikit ragu untuk memanggil salah seorang perawat karena saat itu situasinya agak chaos, agaknya sedang ada banyak pasien di ruangan itu hingga para perawat dibuat pontang-panting melayani pasiennya. Tapi aku tak punya pilihan lain, ku buka mulutku dan berkata: “Sus…”
Belum kelar mulutku berkata “Suster”, tiba-tiba tirai hijau muda itu terbuka. Seseorang muncul dari balik tirai, seseorang yang sudah familiar di mataku. Seseorang yang memiliki tatapan lembut dan menenangkan, tapi kali ini tatapannya sedikit berbeda. Kedua matanya menyiratkan kekhawatiran. Matanya yang sembab menandakan ia baru saja menangis. Ia Rina, kekasihku.
“Kamu gak apa-apa?” tanyanya begitu melihatku menatap wajahnya. Tangan kanannya langsung membelai kening dan rambut di kepalaku. Dari intonasi suaranya yang masih agak terbata-taba, aku tahu tangisnya dapat kembali meledak sewaktu-waktu. “Aku gak apa-apa,” jawabku sejadinya dan berharap jawaban itu bisa sedikit menenangkannya dan mencegahnya menangis lagi, meskipun aku sendiri tak yakin itu akan berhasil, tapi yang jelas belaian tangannya di kepalaku secara ajaib berhasil mengurangi rasa pusing yang sedari tadi terasa menyiksa.
Tangan kirinya memegang handphone, sepertinya ia baru saja menelpon seseorang atau beberapa orang, wajahnya masih nampak kalut. Ya, aku menyadari keadaannya sekarang. Jika aku di posisinya sekarang aku pasti juga akan merasa kalut karena harus menjagai seseorang yang dicintai seorang diri di rumah sakit, tanpa dukungan dari orangtua atau sanak saudara yang lain. “Bapak ibumu udah aku kabari, sebentar lagi sampai sini,” kata kekasih yang sudah kupacari sejak sekitar 2 tahun lalu itu. Pikiranku sedikit tenang karena sebentar lagi Rina tak harus sendirian menemaniku. Meski demikian, masih ada yang mengganjal dalam benakku, sesuatu yang membuatku merasa khawatir dan takut. Pertanyaan yang sedari tadi bersemayan dalam pikiranku, pertanyaan yang membutuhkan jawaban. Apa yang sebenarnya terjadi pada kakiku?
Aku tidak berani menanyakan hal itu kepada Rina. Sebenarnya aku tidak tega membuatnya harus mengatakan apa yang terjadi pada kakiku, karena meski aku mencoba berpikir positif, ada di sisi lain dalam benakku yang mengisyaratkan ada hal yang tidak beres dengan kaki kiriku. Ketidakberesan yang serius. “Kata dokter kakimu patah,” perlahan Rina berkata dengan nada suara yang lembut seolah berusaha mencoba menutupi kekhawatirannya. Nada suara seperti itu memang selalu enak didengar saat kami mengobrol bersama. Tapi kali ini, meski pun diucapkan dengan nada suara yang sama lembutnya, apa yang diucapkannya justru membuatku merasa tak enak. Tampak jelas di matanya ia juga sangat enggan mengutarakan itu, mengutarakan fakta yang menyakitkan.
“Apa sudah di-roentgen?” tanyaku. “Belum, tapi kata dokter seperti itu,” lugas Rina menjawab. Kendati demikian ia terlihat sama yakinnya dengan dokter bahwa salah satu tulang kaki kiriku patah. Ia langsung menimpali beberapa fakta yang menguatkan ucapannya itu. Berdasarkan keterangan saksi mata yang membawaku ke rumah sakit ini, kaki kiriku, lebih tepatnya bagian bawah lutut, menjuntai-juntai lemah seakan tak bertulang. Hiih… membayangkannya saja sudah membuatku merinding. Siapa pun yang melihat kondisiku saat itu, pasti langsung menerka tulang kakiku patah. Tentu saja aku tidak menyadarinya, karena saat itu aku pingsan. Sekitar satu jam aku tak sadarkan diri, begitu pengakuan Rina.
Meski aku sempat pingsan, tapi aku tidak kehilangan ingatan. Aku ingat betul bagaimana akhirnya aku bisa terbaring di ranjang rumah sakit ini. Aku mengalami kecelakaan. Sepeda motor yang kutunggangi menabrak bagian belakang mobil pick up. Masih hangat di memory otakku, suara tabrakan itu keras sekali. Setelah itu aku tidak ingat apa-apa, pandanganku berubah gelap. Sepertinya kepalaku membentur benda keras sehingga membuatku pingsan. Untung saja helm yang kupakai masih berada di posisi yang semestinya.
 Aku memang punya kebiasaan khusus dalam pemakain helm. Tidak hanya asal pakai helm, aku selalu memastikan helm terkancing dengan benar di kepalaku. Soal pemakaian helm ini, bisa dibilang aku warga negara yang patuh pada imbaun pemerintah yang menganjurkan pemakaian helm sampai terdengar bunyi “klik”. Ke mana pun aku pergi mengendarai motor, jauh atau dekat, ke tempat kerja atau ke warung Padang yang jaraknya tidak lebih dari 1 kilometer dari rumahku, helm selalu kukenakan. Kebiasaan inilah yang tak jarang jadi bahan sindiran teman-temanku. Mereka sering menganggap diriku aneh, over protective, di luar adat, atau apalah istilahnya, yang jelas kali ini kebiasaan itu telah terbukti menfaatnya. Berkat helm aku masih bisa bernapas, masih hidup, masih melihat dunia, masih bisa menyaksikan wajah syahdu kekasihku walaupun kini ia terlihat sangat sedih.
Tanpa kita sadari batasan antara hidup dan mati ternyata sangat tipis. Di jalan raya segala kemungkinan bisa terjadi. Hidup dan mati seseorang memang ada di tangan Tuhan, tapi kita manusia juga diberi pilihan bagaimana akan berperilaku dalam hidup, termasuk berperilaku dalam berkendara, apakah ingin berperilaku berisiko atau memilih berperilaku yang mengutamakan safety first. Sayangnya sampai sekarang masih banyak orang yang memilih perilaku berisiko dalam berkendara dengan menyepelekan pemakaian helm yang benar dan berkendara layaknya raja jalanan. Kenyataan itu pula yang nampaknya membuat Rina sangat bersedih, ia hampir saja kehilangan orang yang dicintainya. Tapi selain itu, ada hal lain yang membuatnya khawatir. Ia mengkhawatirkan pernikahan kami.
Aku baru ingat tiga hari mendatang kami seharusnya melangsungkan akad nikah. Kami sudah menyiapkan semuanya dengan matang, barangkali sudah 95 persen siap. Jadwal akad nikah kami berdua sudah tercatat di kantor urusan agama (KUA), tempat resepsi juga sudah kami booking, undangan sudah disebar, jasa katering sudah kami sewa, hanya baju pengantin saja yang masih dalam proses penentuan.
Walaupun Rina tidak mengatakan apa-apa berkaitan dengan rencana pernikahan kami yang terancam diundur, tapi aku bisa merasakan kekhawatirannya. Aku berasumsi ia sengaja tidak mau menyinggung hal itu karena melihat kondisiku sekarang. Asumsi kedua karena ia masih shocked menerima kenyataan menyedihkan ini.
Dari balik tirai kulihat sosok berjas putih menghampiriku. Oh, ini dokter yang akan merawatku rupanya. Setelah menanyakan keadaan dan keluhan yang aku rasakan sekarang, ia mengulangi perkataan yang sebelumnya sudah ia katakan kepada Rina. Ada tulang di kaki kiriku yang patah, tapi kali ini lebih spesifik. “Sepertinya tulang kering mas patah, tapi untuk memastikan kita roentgen nanti. Syukurlah cuma fraktur tertutup,” jelas dokter.
Iya benar apa kata dokter, selala ada hal yang bisa disyukuri dari setiap kondisi yang buruk. Untungnya hanya fraktur tertutup. Meski dokter tidak sempat menjelaskan istilah medis itu tapi aku bisa memahaminya. Pengalamanku bergabung dalam PMR membuat pengetahuanku seputar medis meningkat. Fraktur tertutup bisa dipahami sebagai kondisi patah tulang tapi patahan tulang itu tidak sampai merobek kulit. Pemandangan mengerikan kerap terlihat pada kasus fraktur terbuka, di mana tulang yang patah sampai menyembul keluar kulit. Ah.. tak perlu dibayangkan.
Aku hanya heran bagaimana tulang keringku bisa patah, padahal tulang yang juga disebut sebagai tulang tabia itu dikenal sebagai salah satu tulang terkuat dan terbesar yang dimiliki manusia. Pasti benturan yang terjadi saat kecelakaan tadi sangat keras, begitu dugaanku.
“Gimana Riz?” tiba-tiba adikku menghampiriku. Rupanya ia mendengar kabar buruk ini dari orangtua kami. Dibandingkan Adam, adikku ini, sebenarnya aku punya catatan kecelakaan berkendara jauh lebih sedikit, tapi anehnya ia tidak pernah mengalami luka berat, paling-paling cuma lecet tangan dan kaki. Kena semprot bapak dan ibu, sudah menjadi keniscayaan tiap kali ia mengalami kecelakaan.
Ia mengaku baru saja dari TKP kecelakaanku. Motorku langsung dibawanya ke bengkel. Menurut pengakuannya, velg ban depan motorku penyok, lampu depan hancur, dan setang bengkok ke kiri. Tapi ada hal yang ganjil, cakram rem ban depan pecah. “Cakramnya sudah tipis banget sampai bisa pecah”. Seketika aku teringat dengan keadaan cakram rem motorku dan detik-detik menjelang kecelakaan. Aku teringat cakram itu memang sudah terlihat tipis, aku baru menyadarinya sekitar dua bulan lalu tapi aku selalu menunda-nunda untuk menggantinya dengan yang baru. Entah dapat ilham dari mana tiba-tiba aku menduga-duga kecelakaanku ini ada kaitannya dengan cakram rem yang pecah. Beberapa detik sebelum ujung depan motorku menabrak ekor mobil pick up, aku yakin sempat menarik tuas rem depan. Laju motor sempat melambat sepersekian detik, tapi setelah itu motor tidak berhenti malah terus melaju kencang kendati tuas rem sudah ditarik maksimal. Karena sudah terlalu tipis, cakram langsung pecah begitu mendapat tekanan dari kampas rem. Alhasil rem tidak bekerja sebagaimana mestinya dan tubrukan pun tak bisa dihindari.
Beberapa hari menjelang pernikahan kami, entah mengapa metabolisme tubuhku bekerja lebih cepat. Aku berjalan lebih cepat, makan lebih cepat, bekerja lebih cepat, berkendara lebih cepat. Aku ingin segera menyambut masa cuti nikahku, ingin segera menyelesaikan semua pekerjaanku sehingga saat cuti aku bisa merasa terbebas dai semua beban pekerjaan. Mungkin faktor itu pula yang mendorongku untuk ngebut saat mendapat mandat dari atasan menemui seorang klien. Perilaku yang terburu-buru dalam berkendara, ditambah kondisi kendaraan yang tidak prima, plus jalan yang agak licin karena basah terguyur hujan, adalah kombinasi yang pas penyebab kecelakaan yang aku alami.
Kini hanya penyesalan yang bisa aku rasakan, seandainya aku lebih memerhatikan kondisi motorku, kecelakaan ini tentu tidak akan terjadi. Seandainya aku lebih bersabar dalam berkendara tentu aku dapat menemui klien bos dengan selamat. Seandainya aku tidak menunda-nunda mengganti cakram rem yang sudah tipis dan menjadikannya prioritas, tentu pernikahanku tidak akan terancam diundur dan aku tidak menyulitkan banyak orang yang aku cintai, orangtuaku, adikku, dan Rina.
Tak berselang lama dari kedatangan Adam, kulihat bapak dan ibuku akhirnya tiba di ruang IGD tempat aku berada sekarang. Entah mengapa saat kulihat wajah tua bapakku, aku seperti tersedot ke dalam lorong mesin waktu yang membawaku pada suatau masa, masa di saat aku masih kecil.
 Sore itu menjelang magrib, bapak pulang lebih cepat dari biasanya. Ia datang diantar becak, bukan dengan sepeda motornya. Jaket dan celana panjangnya robek di beberapa bagian. Lengan dan kaki kanannya penuh luka, sebagian hanya terlihat memar, sebagian lagi mengeluarkan darah segar. Ia mengerang kesakitan. Saat itu aku langsung sadar bapak baru saja mengalami kecelakaan. Ibu langsung panik melihat keadaan bapak seperti itu. Seketika seisi rumah dinaungi atmosfer ke-chaos-an. Ibu menangis sejadinya, sementara Adam yang saat itu masih berusia prasekolah dan masih selalu mengekor ibu, ikut-ikutan menangis.
Bapakku seorang tukang ojek, tapi itu hanya pekerjaan sambilan. Pekerjaan utamanya adalah guru sekolah dasar. Siang mengajar, sore hingga malam hari mengangkut penumpang. Jadwal kerjanya yang padat itu memang mampu menambah pundi-pundi keuangan keluarga kami, tapi setelah kecelakan itu kami tersadar bahwa kesibukan bapak juga menjadi faktor kunci penyebab kecelakaan yang ia alami.
Karena sibuk mengajar dan mengojek, bapak jadi jarang men-service  motornya di bengkel secara berkala. Ia selalu beralibi tidak punya waktu, padahal kami yakin ini cuma masalah niat dan prioritas. Ibuku sendiri tak lelah-lelahnya mengingatkan bapak supaya motornya di-service  rutin, tapi sepertinya ocehan ibu hanya masuk telinga kanan terus keluar lewat telinga kiri, hingga akhirnya kecelakaan itu terjadi.
Aku percaya bapakku tipe pria yang waspada dan patuh aturan berlalu lintas. Aku yakin sekali akan hal itu karena hampir setiap hari aku diantar jemput bapak ke sekolah dasar, jadi aku hafal betul bagaimana bapak berkendara. Satu hal yang menjadikan bapak sebagai pengendara berisiko adalah kebiasaannya menunda-nunda mengerjakan hal yang penting. Dalam kasus kecelakaan bapak kala itu, ia menyepelekan mengganti kampas rem tromol kedua roda motornya yang sudah sangat tipis dan tak lagi pakem. Meski bapak bukan pengendara yang suka kebut-kebutan, tapi ada kalanya ia harus menggeber sepeda motornya lebih cepat saat mengantar penumpang yang buru-buru, atau saat harus pergi menjemput penumpang agar tidak didahului pengojek lain.
“Ealah Rizky, Rizky, kok bisa kayak gini, makanya kalau naik motor itu hati-hati. Ibu kan sudah bilang berkali-kali, naik motor itu harus hati-hati, jangan asal ngebut.” Perkataan ibu memecah keheningan. Nadanya seperti akan menangis, raut wajahnya khawatir dan sedih. “Iya bu, iya. Namanya juga musibah.” Hanya kalimat itu yang refleks keluar dari mulutku dengan nada yang berusaha menenangkan kegelisahan ibu.
Bapak langsung memberondongku dengan beberapa pertanyaan seputar kondisiku, proses perawatan di rumah sakit, dan detail kecelakaan. Ia memintaku untuk tidak terlalu memusingkan hal-hal lain selain kesembuhan luka-lukaku. Segala urusan dengan pihak rumah sakit dan pihak pemilik mobil pick up yang sepertinya akan menuntut ganti rugi, akan diurus olehnya. Terus terang saat itu aku sangat merasa tidak enak karena sudah merepotkan banyak orang. Tapi satu hal yang paling membuatku tidak enak adalah kemungkinan bahwa aku akan gagal membuat orangtuaku bahagia menyaksikan putranya menikah dalam waktu dekat. Aku takut pernikahanku diundur hingga kondisiku benar-benar fit.
Melihat kondisiku seperti sekarang ini bapakku sepertinya tidak punya pilihan lain selain menunda rencana pernikahanku. Ia berjanji akan segera membicarakannya dengan orangtua Rina. Jika rencana penundaan pernikahan itu menjadi kenyataan, itu artinya akan ada lebih banyak biaya yang harus dikeluarkan. Haduh…
Aku meratapi keadaanku saat ini. Aku meratapi kecerobohanku yang kerap menunda melakukan hal penting. Sempat terbersit dalam pikiranku apakah kebiasaan buruk ini mengalir dalam darah keluargaku? Diturunkan dari gen bapakku? Jika jawabannya ya, aku sangat berharap gen itu cukup berhenti padaku saja dan tak diturunkan pada generasi ketiga yaitu anakku kelak. Cukuplah ini menjadi pembelajaran bagiku dan semua orang, bahwa selihai apapun seseorang dalam berkendara namun jika tidak didukung oleh kondisi kendaraan yang prima dan laik jalan, kecelakaan sangat mungkin terjadi.
Pelajaran lain yang bisa kupetik dari musibah ini adalah seberapa besar prioritas keselamatan saat berkendara bagi kita, para pengendara roda dua maupun roda empat. Aku pernah membaca sebuah quote bagus: “No one is too busy. It’s just a matter of priorities.” Kenyataannya beberapa bulan lalu aku tidak menempatkan keselamatanku sebagai prioritas utama, aku malah menempatkannya diurutan kesekian dengan menunda-nunda men-service  motorku. Sayangnya aku tidak sendirian. Di luar sana, kupikir masih ada pengendara motor yang kurang memerhatikan keselamatan berkendara dan tidak terlalu memedulikan kondisi instrumen keselamatan motor yang memadai seperti rem, kaca spion, lampu utama, lampu sen, serta kondisi ban dan ratai. Berkendara motor tidak cukup hanya jika motor dapat melaju saja.
Kini penyesalan tak lagi berguna. Aku hanya berharap aku tidak akan membuat kesalahan yang sama kelak, dan berharap tidak ada banyak orang yang seperti diriku di dunia ini, di jalan raya di kotaku, di negeriku. Aku juga berharap aku segera bisa pulih agar bisa segera mempersunting Rina kekasihku, serta menyaksikan senyum bahagia di wajah kedua orangtuaku di pesta resepsi penikahanku.

Blogspot ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen 'Tertib, Aman, dan Selamat Berkendara Motor di Jalan.' 
#SafetyFirst diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com