Prioritas Keselamatan
Perlahan kubuka mataku sembari mencoba
menyadari apa yang telah terjadi dan mencari tahu di mana aku berada sekarang. Semua
tampak asing, ruangan tempat aku berada belum aku kenal sebelumnya. Tapi tidak
perlu waktu lama buatku untuk menyadari bahwa aku sekarang ada di rumah sakit. Tirai
hijau muda yang mengelilingi tempat tidurku, tiang penyangga botol infus,
ditambah seprai tempat tidur putih nan bersih tempat aku terbaring sekarang, serta
tabung oksigen yang berada tepat di samping tempat tidur, semuanya itu
menuntunku untuk segera mengambil kesimpulan bahwa aku sekarang ada di rumah
sakit. Rumah sakit apa? Mana kutahu.
Dari sela-sela tirai yang
mengelilingi tempat tidur, aku bisa melihat beberapa paramedis hilir mudik.
Sepertinya mereka sibuk. Entahlah, aku tak peduli dan tak mau tahu tentang
mereka. Dalam kondisi seperti ini kadar egoku meningkat drastis, membumbung tinggi
ke angkasa layaknya pesawat ulang-alik
Apollo 11 yang mengangkut Neil Armstrong, Buzz Aldrin, dan Michael Collins
dalam misi menjelajah satelit Bumi di bulan Juli 1969. Aku sama sekali tidak
peduli dengan apa yang ada di sekililingku, bahkan tiap obrolan yang berasal
dari balik tirar itu hanya masuk lewat kuping kanan dan langsung keluar lewat
kuping kiri tanpa satu pun kata yang nyantol di pikiran. Satu-satunya yang aku
peduli dan khawatirkan hanya kondisiku saat ini.
Kepalaku pening, serasa
ada beban 2 ton yang dililitkan di tulang tengkorakku. Seandainya aku ada di
dalam samudra yang luas, pasti sekarang aku akan langsung meluncur deras ke
dasar samudra karena begitu beratnya beban di kepalaku. Tapi itu bukanlah
penderitaan satu-satunya yang aku alami. Rasa nyeri setengah mati terasa dari
bagian bawah, tepatnya kaki kiri. Susah payah aku berusaha melihat ke arah
kaki, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Oh my God”, sontak kalimat itu muncul di dalam pikiran begitu
melihat kondisi kaki kiri. Organ tubuh penting itu dililit perban dari mata
kaki hingga lutut. Di antara perban dan kakiku, ada dua buah benda berbentuk
papan berada di sebelah kiri dan kanan kakiku, membujur dari mata kaki hingga
di bawah lutut, mengapit rapat seolah ingin melindunginya dari ancaman luar.
Dari keadaan yang nampak,
aku tahu itu fiksasi luar, sebuah tindakan medis awal pada kasus patah tulang, tujuannya
menjaga agar tulang yang patah tetap pada posisi yang semestinya. Aku mengenal
istilah itu saat masih aktif di PMR (Palang Merah Remaja) di bangku SMA dulu.
Bersama teman-teman, aku selalu suka saat mempraktikkan metode tersebut, bukan
karena aku ahli melakukannya, tapi karena dengan praktik fiksasi aku bisa
mengerjai temanku, Ridwan. Biasanya setelah pertemuan PMR selesai, sebelum
semua properti P3K dikembalikan ke ruang penyimpanan, aku dan temanku Agus mempraktikan
fiksasi luar yang lain dari biasanya, dan yang berperan menjadi korban adalah
Ridwan. Agus bertugas memegangi dan merapatkan kedua kaki Ridwan, aku sendiri
dengan cekatan memasang dua papan masing-masing di sisi luar kaki kiri dan
kanannya. Setelah itu langsung kulilit kedua kakinya dengan perban dan kuikat
dengan simpul mati. Lalu aku dan Agus membantu Ridwan berdiri. Ia terlihat
susah payah menjaga keseimbangan dengan kedua kaki terikat seperti itu. Aku dan
Agus hanya bisa tertawa terpingkal-pingkal melihat tingkahnya. Anehnya,
bukannya berusaha untuk melepaskan simpul perban, Ridwan malah menghampiri kami
dengan melompat-lompat layaknya pocong dengan menyilangkan kedua telapak
tangannya di atas ubun-ubun kepalanya. Sungguh momen fiksasi yang menghibur.
Tapi tidak dengan momen fiksasi saat ini, meski belum mendapat secuil informasi
dari pihak rumah sakit, aku tahu sepertinya aku mengalami patah tulang. Duh…
Aku termasuk orang yang
selalu mencoba optimis dan berpikir positif. Segera kubuang jauh-jauh kekhawatiran
patah tulang kaki di pikiranku. Maka untuk meyakinkan diri sendiri, aku harus
mendapat informasi dari orang lain yang paham dengan kondisiku sekarang, orang
lain itu tak lain dan tak bukan tentu saja para paramedis di rumah sakit ini.
Terus terang aku sedikit ragu untuk memanggil salah seorang perawat karena saat
itu situasinya agak chaos, agaknya
sedang ada banyak pasien di ruangan itu hingga para perawat dibuat
pontang-panting melayani pasiennya. Tapi aku tak punya pilihan lain, ku buka
mulutku dan berkata: “Sus…”
Belum kelar mulutku
berkata “Suster”, tiba-tiba tirai hijau muda itu terbuka. Seseorang muncul dari
balik tirai, seseorang yang sudah familiar di mataku. Seseorang yang memiliki
tatapan lembut dan menenangkan, tapi kali ini tatapannya sedikit berbeda. Kedua
matanya menyiratkan kekhawatiran. Matanya yang sembab menandakan ia baru saja
menangis. Ia Rina, kekasihku.
“Kamu gak apa-apa?”
tanyanya begitu melihatku menatap wajahnya. Tangan kanannya langsung membelai
kening dan rambut di kepalaku. Dari intonasi suaranya yang masih agak
terbata-taba, aku tahu tangisnya dapat kembali meledak sewaktu-waktu. “Aku gak
apa-apa,” jawabku sejadinya dan berharap jawaban itu bisa sedikit
menenangkannya dan mencegahnya menangis lagi, meskipun aku sendiri tak yakin
itu akan berhasil, tapi yang jelas belaian tangannya di kepalaku secara ajaib
berhasil mengurangi rasa pusing yang sedari tadi terasa menyiksa.
Tangan kirinya memegang
handphone, sepertinya ia baru saja menelpon seseorang atau beberapa orang,
wajahnya masih nampak kalut. Ya, aku menyadari keadaannya sekarang. Jika aku di
posisinya sekarang aku pasti juga akan merasa kalut karena harus menjagai
seseorang yang dicintai seorang diri di rumah sakit, tanpa dukungan dari
orangtua atau sanak saudara yang lain. “Bapak ibumu udah aku kabari, sebentar
lagi sampai sini,” kata kekasih yang sudah kupacari sejak sekitar 2 tahun lalu
itu. Pikiranku sedikit tenang karena sebentar lagi Rina tak harus sendirian
menemaniku. Meski demikian, masih ada yang mengganjal dalam benakku, sesuatu
yang membuatku merasa khawatir dan takut. Pertanyaan yang sedari tadi
bersemayan dalam pikiranku, pertanyaan yang membutuhkan jawaban. Apa yang
sebenarnya terjadi pada kakiku?
Aku tidak berani menanyakan
hal itu kepada Rina. Sebenarnya aku tidak tega membuatnya harus mengatakan apa
yang terjadi pada kakiku, karena meski aku mencoba berpikir positif, ada di
sisi lain dalam benakku yang mengisyaratkan ada hal yang tidak beres dengan
kaki kiriku. Ketidakberesan yang serius. “Kata dokter kakimu patah,” perlahan
Rina berkata dengan nada suara yang lembut seolah berusaha mencoba menutupi
kekhawatirannya. Nada suara seperti itu memang selalu enak didengar saat kami
mengobrol bersama. Tapi kali ini, meski pun diucapkan dengan nada suara yang
sama lembutnya, apa yang diucapkannya justru membuatku merasa tak enak. Tampak
jelas di matanya ia juga sangat enggan mengutarakan itu, mengutarakan fakta
yang menyakitkan.
“Apa sudah di-roentgen?”
tanyaku. “Belum, tapi kata dokter seperti itu,” lugas Rina menjawab. Kendati
demikian ia terlihat sama yakinnya dengan dokter bahwa salah satu tulang kaki
kiriku patah. Ia langsung menimpali beberapa fakta yang menguatkan ucapannya
itu. Berdasarkan keterangan saksi mata yang membawaku ke rumah sakit ini, kaki kiriku,
lebih tepatnya bagian bawah lutut, menjuntai-juntai lemah seakan tak bertulang.
Hiih… membayangkannya saja sudah membuatku merinding. Siapa pun yang melihat
kondisiku saat itu, pasti langsung menerka tulang kakiku patah. Tentu saja aku
tidak menyadarinya, karena saat itu aku pingsan. Sekitar satu jam aku tak
sadarkan diri, begitu pengakuan Rina.
Meski aku sempat pingsan,
tapi aku tidak kehilangan ingatan. Aku ingat betul bagaimana akhirnya aku bisa terbaring
di ranjang rumah sakit ini. Aku mengalami kecelakaan. Sepeda motor yang
kutunggangi menabrak bagian belakang mobil pick
up. Masih hangat di memory
otakku, suara tabrakan itu keras sekali. Setelah itu aku tidak ingat apa-apa,
pandanganku berubah gelap. Sepertinya kepalaku membentur benda keras sehingga
membuatku pingsan. Untung saja helm yang kupakai masih berada di posisi yang
semestinya.
Aku memang punya kebiasaan khusus dalam
pemakain helm.
Tidak hanya asal pakai helm, aku selalu memastikan helm terkancing dengan benar
di kepalaku. Soal pemakaian helm ini, bisa dibilang aku warga negara yang patuh
pada imbaun pemerintah yang menganjurkan pemakaian helm sampai terdengar bunyi
“klik”. Ke mana pun aku pergi mengendarai motor, jauh atau dekat, ke tempat
kerja atau ke warung Padang yang jaraknya tidak lebih dari 1 kilometer dari
rumahku, helm selalu kukenakan. Kebiasaan inilah yang tak jarang jadi bahan
sindiran teman-temanku. Mereka sering menganggap diriku aneh, over protective, di luar adat, atau
apalah istilahnya, yang jelas kali ini kebiasaan itu telah terbukti menfaatnya.
Berkat helm aku masih bisa bernapas, masih hidup, masih melihat dunia, masih
bisa menyaksikan wajah syahdu kekasihku walaupun kini ia terlihat sangat sedih.
Tanpa kita sadari batasan
antara hidup dan mati ternyata sangat tipis. Di jalan raya segala kemungkinan
bisa terjadi. Hidup dan mati seseorang memang ada di tangan Tuhan, tapi kita
manusia juga diberi pilihan bagaimana akan berperilaku dalam hidup, termasuk berperilaku dalam berkendara,
apakah ingin berperilaku
berisiko atau memilih berperilaku
yang mengutamakan safety first. Sayangnya
sampai sekarang masih banyak orang yang memilih perilaku berisiko dalam berkendara
dengan menyepelekan pemakaian helm yang benar dan berkendara layaknya raja
jalanan. Kenyataan itu pula yang nampaknya membuat Rina sangat bersedih, ia
hampir saja kehilangan orang yang dicintainya. Tapi selain itu, ada hal lain
yang membuatnya khawatir. Ia mengkhawatirkan pernikahan kami.
Aku baru ingat tiga hari
mendatang kami seharusnya melangsungkan akad nikah. Kami sudah menyiapkan
semuanya dengan matang, barangkali sudah 95 persen siap. Jadwal akad nikah kami
berdua sudah tercatat di kantor urusan agama (KUA), tempat resepsi juga sudah
kami booking, undangan sudah disebar,
jasa katering sudah kami sewa, hanya baju pengantin saja yang masih dalam
proses penentuan.
Walaupun Rina tidak
mengatakan apa-apa berkaitan dengan rencana pernikahan kami yang terancam
diundur, tapi aku bisa merasakan kekhawatirannya. Aku berasumsi ia sengaja
tidak mau menyinggung hal itu karena melihat kondisiku sekarang. Asumsi kedua
karena ia masih shocked menerima
kenyataan menyedihkan ini.
Dari balik tirai kulihat
sosok berjas putih menghampiriku. Oh, ini dokter yang akan merawatku rupanya. Setelah
menanyakan keadaan dan keluhan yang aku rasakan sekarang, ia mengulangi
perkataan yang sebelumnya sudah ia katakan kepada Rina. Ada tulang di kaki
kiriku yang patah, tapi kali ini lebih spesifik. “Sepertinya tulang kering mas
patah, tapi untuk memastikan kita roentgen
nanti. Syukurlah cuma fraktur tertutup,” jelas dokter.
Iya benar apa kata
dokter, selala ada hal yang bisa disyukuri dari setiap kondisi yang buruk.
Untungnya hanya fraktur tertutup. Meski dokter tidak sempat menjelaskan istilah
medis itu tapi aku bisa memahaminya. Pengalamanku bergabung dalam PMR membuat
pengetahuanku seputar medis meningkat. Fraktur tertutup bisa dipahami sebagai
kondisi patah tulang tapi patahan tulang itu tidak sampai merobek kulit.
Pemandangan mengerikan kerap terlihat pada kasus fraktur terbuka, di mana tulang
yang patah sampai menyembul keluar kulit. Ah.. tak perlu dibayangkan.
Aku hanya heran bagaimana
tulang keringku bisa patah, padahal tulang yang juga disebut sebagai tulang
tabia itu dikenal sebagai salah satu tulang terkuat dan terbesar yang dimiliki
manusia. Pasti benturan yang terjadi saat kecelakaan tadi sangat keras, begitu
dugaanku.
“Gimana Riz?” tiba-tiba
adikku menghampiriku. Rupanya ia mendengar kabar buruk ini dari orangtua kami.
Dibandingkan Adam, adikku ini, sebenarnya aku punya catatan kecelakaan
berkendara jauh lebih sedikit, tapi anehnya ia tidak pernah mengalami luka
berat, paling-paling cuma lecet tangan dan kaki. Kena semprot bapak dan ibu, sudah
menjadi keniscayaan tiap kali ia mengalami kecelakaan.
Ia mengaku baru saja dari
TKP kecelakaanku. Motorku langsung dibawanya ke bengkel. Menurut pengakuannya,
velg ban depan motorku penyok, lampu depan hancur, dan setang bengkok ke kiri. Tapi
ada hal yang ganjil,
cakram rem ban depan pecah. “Cakramnya sudah tipis banget sampai bisa pecah”.
Seketika aku teringat dengan keadaan cakram rem motorku dan detik-detik
menjelang kecelakaan. Aku teringat cakram itu memang sudah terlihat tipis, aku
baru menyadarinya sekitar dua bulan lalu tapi aku selalu menunda-nunda untuk
menggantinya dengan yang baru. Entah dapat ilham dari mana tiba-tiba aku
menduga-duga kecelakaanku ini ada kaitannya dengan cakram rem yang pecah. Beberapa
detik sebelum ujung depan motorku menabrak ekor mobil pick up, aku yakin sempat menarik tuas rem depan. Laju motor sempat
melambat sepersekian detik, tapi setelah itu motor tidak berhenti malah terus
melaju kencang kendati tuas rem sudah ditarik maksimal. Karena sudah terlalu
tipis, cakram langsung pecah begitu mendapat tekanan dari kampas rem. Alhasil
rem tidak bekerja sebagaimana mestinya dan tubrukan pun tak bisa dihindari.
Beberapa hari menjelang
pernikahan kami, entah mengapa metabolisme tubuhku bekerja lebih cepat. Aku
berjalan lebih cepat, makan lebih cepat, bekerja lebih cepat, berkendara lebih
cepat. Aku ingin segera menyambut masa cuti nikahku, ingin segera menyelesaikan
semua pekerjaanku sehingga saat cuti aku bisa merasa terbebas dai semua beban
pekerjaan. Mungkin faktor itu pula yang mendorongku untuk ngebut saat mendapat
mandat dari atasan menemui seorang klien. Perilaku yang terburu-buru dalam berkendara,
ditambah kondisi kendaraan yang tidak prima, plus jalan yang agak licin karena
basah terguyur hujan, adalah kombinasi yang pas penyebab kecelakaan yang aku
alami.
Kini hanya penyesalan
yang bisa aku rasakan, seandainya aku lebih memerhatikan kondisi motorku,
kecelakaan ini tentu tidak akan terjadi. Seandainya aku lebih bersabar dalam
berkendara tentu aku dapat menemui klien bos dengan selamat. Seandainya aku
tidak menunda-nunda mengganti cakram rem yang sudah tipis dan menjadikannya
prioritas, tentu pernikahanku tidak akan terancam diundur dan aku tidak
menyulitkan banyak orang yang aku cintai, orangtuaku, adikku, dan Rina.
Tak berselang lama dari
kedatangan Adam, kulihat bapak dan ibuku akhirnya tiba di ruang IGD tempat aku
berada sekarang. Entah mengapa saat kulihat wajah tua bapakku, aku seperti
tersedot ke dalam lorong mesin waktu yang membawaku pada suatau masa, masa di saat
aku masih kecil.
Sore itu menjelang magrib, bapak pulang lebih
cepat dari biasanya. Ia datang diantar becak, bukan dengan sepeda motornya.
Jaket dan celana panjangnya robek di beberapa bagian. Lengan dan kaki kanannya
penuh luka, sebagian hanya terlihat memar, sebagian lagi mengeluarkan darah
segar. Ia mengerang kesakitan. Saat itu aku langsung sadar bapak baru saja
mengalami kecelakaan. Ibu langsung panik melihat keadaan bapak seperti itu.
Seketika seisi rumah dinaungi atmosfer ke-chaos-an. Ibu menangis sejadinya,
sementara Adam yang saat itu masih berusia prasekolah dan masih selalu mengekor
ibu, ikut-ikutan menangis.
Bapakku seorang tukang
ojek, tapi itu hanya pekerjaan sambilan. Pekerjaan utamanya adalah guru sekolah
dasar. Siang mengajar, sore hingga malam hari mengangkut penumpang. Jadwal
kerjanya yang padat itu memang mampu menambah pundi-pundi keuangan keluarga
kami, tapi setelah kecelakan itu kami tersadar bahwa kesibukan bapak juga
menjadi faktor kunci penyebab kecelakaan yang ia alami.
Karena sibuk mengajar dan
mengojek, bapak jadi jarang men-service motornya di bengkel secara berkala. Ia selalu
beralibi tidak punya waktu, padahal kami yakin ini cuma masalah niat dan
prioritas. Ibuku sendiri tak lelah-lelahnya mengingatkan bapak supaya motornya
di-service rutin, tapi sepertinya ocehan ibu hanya masuk
telinga kanan terus keluar lewat telinga kiri, hingga akhirnya kecelakaan itu
terjadi.
Aku percaya bapakku tipe
pria yang waspada dan patuh aturan berlalu lintas. Aku yakin sekali akan hal
itu karena hampir setiap hari aku diantar jemput bapak ke sekolah dasar, jadi
aku hafal betul bagaimana bapak berkendara. Satu hal yang menjadikan bapak
sebagai pengendara berisiko adalah kebiasaannya menunda-nunda mengerjakan hal
yang penting. Dalam kasus kecelakaan bapak kala itu, ia menyepelekan mengganti
kampas rem tromol kedua roda motornya yang sudah sangat tipis dan tak lagi
pakem. Meski bapak bukan pengendara yang suka kebut-kebutan, tapi ada kalanya
ia harus menggeber sepeda motornya lebih cepat saat mengantar penumpang yang
buru-buru, atau saat harus pergi menjemput penumpang agar tidak didahului
pengojek lain.
“Ealah Rizky, Rizky, kok
bisa kayak gini, makanya kalau naik motor itu hati-hati. Ibu kan sudah bilang
berkali-kali, naik motor itu harus hati-hati, jangan asal ngebut.” Perkataan ibu
memecah keheningan. Nadanya seperti akan menangis, raut wajahnya khawatir dan
sedih. “Iya bu, iya. Namanya juga musibah.” Hanya kalimat itu yang refleks
keluar dari mulutku dengan nada yang berusaha menenangkan kegelisahan ibu.
Bapak langsung
memberondongku dengan beberapa pertanyaan seputar kondisiku, proses perawatan
di rumah sakit, dan detail kecelakaan. Ia memintaku untuk tidak terlalu
memusingkan hal-hal lain selain kesembuhan luka-lukaku. Segala urusan dengan
pihak rumah sakit dan pihak pemilik mobil pick
up yang sepertinya akan menuntut ganti rugi, akan diurus olehnya. Terus
terang saat itu aku sangat merasa tidak enak karena sudah merepotkan banyak
orang. Tapi satu hal yang paling membuatku tidak enak adalah kemungkinan bahwa
aku akan gagal membuat orangtuaku bahagia menyaksikan putranya menikah dalam
waktu dekat. Aku takut pernikahanku diundur hingga kondisiku benar-benar fit.
Melihat kondisiku seperti
sekarang ini bapakku sepertinya tidak punya pilihan lain selain menunda rencana
pernikahanku. Ia berjanji akan segera membicarakannya dengan orangtua Rina.
Jika rencana penundaan pernikahan itu menjadi kenyataan, itu artinya akan ada
lebih banyak biaya yang harus dikeluarkan. Haduh…
Aku meratapi keadaanku
saat ini. Aku meratapi kecerobohanku yang kerap menunda melakukan hal penting.
Sempat terbersit dalam pikiranku apakah kebiasaan buruk ini mengalir dalam
darah keluargaku? Diturunkan dari gen bapakku? Jika jawabannya ya, aku sangat
berharap gen itu cukup berhenti padaku saja dan tak diturunkan pada generasi
ketiga yaitu anakku kelak. Cukuplah ini menjadi pembelajaran bagiku dan semua
orang, bahwa selihai apapun seseorang dalam berkendara namun jika tidak
didukung oleh kondisi kendaraan yang prima dan laik jalan, kecelakaan sangat
mungkin terjadi.
Pelajaran lain yang bisa
kupetik dari musibah ini adalah seberapa besar prioritas keselamatan saat
berkendara bagi kita, para pengendara roda dua maupun roda empat. Aku pernah
membaca sebuah quote bagus: “No one is too busy. It’s just a matter of
priorities.” Kenyataannya beberapa bulan lalu aku tidak menempatkan keselamatanku
sebagai prioritas utama, aku malah menempatkannya diurutan kesekian dengan
menunda-nunda men-service motorku. Sayangnya aku tidak sendirian. Di
luar sana, kupikir masih ada pengendara motor yang kurang memerhatikan
keselamatan berkendara dan tidak terlalu memedulikan kondisi instrumen keselamatan
motor yang memadai seperti rem, kaca spion, lampu utama, lampu sen, serta
kondisi ban dan ratai. Berkendara motor tidak cukup hanya jika motor dapat
melaju saja.
Kini penyesalan tak lagi
berguna. Aku hanya berharap aku tidak akan membuat kesalahan yang sama kelak,
dan berharap tidak ada banyak orang yang seperti diriku di dunia ini, di jalan
raya di kotaku, di negeriku. Aku juga berharap aku segera bisa pulih agar bisa
segera mempersunting Rina kekasihku, serta menyaksikan senyum bahagia di wajah
kedua orangtuaku di pesta resepsi penikahanku.
Blogspot ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen 'Tertib, Aman, dan Selamat Berkendara Motor di Jalan.'
#SafetyFirst diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com